Kamis, 27 November 2014

KONFLIK AGAMA


KONFLIK AGAMA

Agama, Konflik dan Masyarakat

Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralisme dalam masyarakat Indonesia.
Konflik antar agama menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama.

Konflik yang ada dalam Agama dan Masyarakat

Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.

Sumber Utama Konflik Sosial

Di dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 5 dijelaskan bahwa di dalam diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma ilahi. Dengan kata lain, sebagai perusak, hal ini bisa berbentuk kerusuhan, demonstrasi dan sebagainya yang semuanya diakibatkan oleh tangan manusia. Jadi, yang menjadi sumber utama terjadi konflik adalah masyarakat atau pemeluk agama, bukan pada agama atau ajarannya.
Penganut agama adalah orang yang meyakini dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinannya akan melahirkan bentuk perbuatan baik dan buruk. Keyakinan ini bisa dimiliki oleh mereka, setelah melalui proses memahami dan mempelajari ajaran agama tersebut. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama akan mempunyai kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya sesuai dengan kemampuannya masing- masing. Akibat perbedaan pemahaman ini, konflik sudah tidak bisa dihindari. Misalnya konflik antar mazhab.


Faktor- faktor Konflik Sosial Ditinjau dari Aspek Agama
         Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan. Di dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut rahmah lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam semesta). Namun dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan bahwa, “agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda” Hal ini sama dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat dalam sejarah menimbulkan peperangan. Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:

·                     Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.
Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep- konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakanfisik.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.

·                     Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seprti dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni Menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah Agama menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seseorang yang beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu di Bali. Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi, bahkan berubah menjadi kerusuhan.

·                     Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada dalam agama ketiga, diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita akan tersenyum mengejeknya, karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama yang bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang adalah agama kita dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan menjadi sebuah perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang berada dipihak ke tiga (tidak berperang), dan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara dia kepalsuan. Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya menjadi sumber kebenaran.

·                     Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Qur’an (Q.S. 2 : 148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika beliau berada di Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk mengikuti agamanya. Bahkan dalam perjanjian dengan penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satunya ” Orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim. Jika di antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya dan keluarganya.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar